Home > Author > Titon Rahmawan

Titon Rahmawan QUOTES

142 " Pada keramaian pasar pagi itu aku menemukan sepasang sepatu yang mewakili kegembiraanmu. Bagaimana dirimu bermalih malih rupa dan berganti ganti warna seolah hendak mengubah  dunia. Membagi bagi berkat di atas semua barang dagangan yang tergelar di atas trotoar. Semua tak terkecuali, pada angkot kuning yang melintas di jalan, atau pada penjaja mainan yang mengharap iba darimu.

Tetapi engkau bahkan memberi lebih dari apa yang mereka pinta. Sebab pada bendera putih yang engkau kibarkan mereka telanjur jatuh cinta. Di sanalah engkau menunjukkan arti kata murah hati, entah untuk yang ke berapa kali. Memulas kuning biru pada anting yang kausematkan di telingamu. Melukis bunga melati pada jaket merah yang engkau kenakan, dan memberi sebuah ciuman pada bangku warna pelangi yang engkau duduki. Semua seperti menemukan arti baru yang bisa menerjemahkan fungsi kata dalam cara yang berbeda.

Sebagaimana aku temukan serundai pada nasi liwet yang kausantap dengan nikmatnya. Dan naim pada segelas teh hangat yang kauminum. Menjadikan hari Ini tidaklah lazim seperti hari minggu yang lainnya. Ada kegembiraan kausematkan di hatimu dan senyum ceria kauoleskan di bibirmu. Sempat kudengar kau mengucap kata atau barangkali doa, yang terdengar menyerupai mantra yang dibacakan para pendeta ketika penobatan sang raja. Tapi sungguh, baru kali ini kulihat kaubersenang senang seperti bakal tak ada hari yang lain lagi.

Walau sebenarnya, pada bendera segitiga yang tak kausembunyikan dari semua mata yang memerhatikanmu itulah hati kami tertambat. Pada warna putih yang membuatnya kian istimewa. Putih metah yang gampang diingat dan tak akan mudah dilupakan. Seolah kaupercaya, warna itu adalah warna yang akan disukai oleh banyak orang.  Seperti awan yang kepadanya kita menggantungkan harap, bahwa hari itu akan menjadi hari yang cerah senantiasa. Tiada hujan yang akan mengubah momen momen yang menyenangkan. Tak juga sengat mentari, akan mengurangi kebahagiaan yang sudah kautebar sepanjang hari. "

Titon Rahmawan

143 " Jangan beri aku apapun
Meski itu perhatianmu
Meski itu kasih sayangmu
Meski itu air matamu
Jangan beri aku kesedihanmu
Jangan beri aku amarahmu
Jangan beri aku dahagamu
Jangan kau beri aku apapun
Sebab masih kuorak langit demi menemukan seluruh jejak petilasanmu Bunda."

Tapi Nak, bagaimana engkau bisa berucap serupa itu?
Bukankah sudah aku beri engkau bunga? Sudah aku beri engkau matahari. Sudah aku beri engkau rumput dan dedaunan. Sudah aku beri engkau laut dan pasir pantai. Mengapa masih?

Tak cukupkah kau cucup air susu dari sepiku? Kau kecap nyeri dari lukaku, sebagaimana dulu kau terakan kebahagiaan di bawah perutku serupa goresan pisau yang menyambut kehadiranmu. Betapa semuanya masih. Aku berikan lagi engkau api, aku berikan lagi engkau pagi, aku berikan lagi engkau nyanyi tualang dari hatiku yang engkau tahu menyimpan sejuta kekhawatiran. Bagaimana engkau masih berucap serupa itu?

Aku masih berikan engkau suar hingga separuh umurku. Aku berikan engkau tawa dari separuh mautku. Aku berikan engkau kekal ingatan dan sekaligus mimpi abadi. Aku beri semuanya, walau itu cuma sekotak bekal sederhana yang semoga engkau terima untuk mengganjal rasa laparmu.

Betapa aku selalu ingin ada untukmu, Nak. Sebab cuma satu permintaanku tak lebih. Ijinkan aku jadi teman seperjalananmu, sahabat di waktu gundahmu, pembawa kegembiraan di kala senggangmu. Sebagaimana dulu kutimang dirimu dan kunina bobokkan engkau di pangkuanku. Ijinkan aku jadi roti yang mengenyangkan laparmu, pelipur hati di kala sesakmu, panasea ketika kau sakit.

Bukankah aku ada ketika kau belajar berdiri dan aku di sana saat kau jatuh? Aku setia menungguimu saat kau berlari mengejar bulan dan matahari. Dan sekalipun waktu merambatiku dengan galur usia, hingga mungkin aku tak lagi mampu berdiri tegap seperti dulu. Aku tak akan pernah menyerah padamu Nak. Tidak, Bunda tak akan pernah menyerah. Sebab bagiku, cukuplah dirimu sebatas dirimu saja.

Akan tetapi, sanggupkah kau cukupkan dirimu dengan semua kebanggaan? Cukupkan dirimu dengan apa yang engkau punya. Cukupkan dirimu dengan semua doa doa yang tak henti kutitikkan dari sudut hatiku yang semoga jadi asa yang paling surga. Surgamu Nak. Walau kutahu itu akan mengusik nyenyak tidurmu. Walau itu akan menambah resah waktu kerjamu.

Sebab kutahu seberapa keras engkau berjuang. Pada setiap tetes keringat yang engkau cucurkan mana kala engkau harus berlari mengejar bus yang datang menjemput. Manakala pikiranmu tak bisa lepas dari layar lap topmu yang tak henti berkedip. Manakala pagi datang dan sibuk pekerjaan hadir serupa hujan tak kunjung usai mendera. Cukupkan dirimu dengan cinta Bunda Nak. Sekalipun nanti, tak ada lagi ucapan nyinyir bergulir dari bibir Bunda yang mulai keriput ini. Yakinlah, pintu rumah hati Bunda akan selalu terbuka buatmu, kapan pun engkau ingin pulang. "

Titon Rahmawan

144 " Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri? "

Titon Rahmawan

146 " Dinding Ibu

Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

Aku sudah lama sekali tenggelam, mungkin sejak terakhir kali aku terlelap di bawah pohon ibu. Pohon di mana dulu jadi tempatku bernaung. Pohon itu masih ada di sana, sunyi dan sendiri. Berasa jauh tapi pun dekat. Aku terkadang ingin menyentuhnya, seperti aku menyentuh dinding ibu untuk pertama kali. Tapi aku tahu, aku sudah bukan yang dulu lagi. Dan ibu seperti rumah yang merindukan kehadiranku. Ia ingin aku pulang padanya. Tapi entahlah, apakah besok masih cukup ada waktu untukku untuk menjadi diriku sendiri? "

Titon Rahmawan

147 " Jangan ceritakan pada dunia tentang aib yang telah aku buat. Sebagaimana cangkang telur yang pecah dan menguarkan kebusukan yang tak bisa aku tutupi. Tapi semestinya aku bersyukur atas telur yang telah menetas itu.

Bagaimana hendak kusembunyikan sebuah rahasia di balik puisi muram dan berdebu ini? Bagaimana hendak aku tutupi kendi yang sudah terlanjur retak? Aku sama sekali tak berniat melewati pintu berliku dan labirin yang membingungkan. Bukan pula menyembunyikan kebenaran di dalam balutan frasa dan metafora yang pada akhirnya akan tersingkap dengan sendirinya. Melainkan dalam cangkang telur yang getas dan bakal pecah sewaktu waktu. Telur yang rapuh itu menggelinding kesana kemari dan mengacaukan perasaanku.

Diam diam aku berusaha menanam rumpun semak berduri di tempat yang tersembunyi agar orang tak mencuri lihat petaka yang dihasilkannya. Namun ia bukanlah cemar melainkan kebaikan. Jemari kecil yang menyentuh naluri seorang ibu.

Ia bukan lagi sebuah misteri yang mesti disembunyikan dari dunia. Ia tidak hadir sebagai aib, cela atau kenistaan. Ia adalah berkah, ia adalah rasa syukur. Ia adalah curahan rahmat yang menjadikan dirinya utuh sebagai seorang manusia. Ia tidak terlahir untuk aku tangisi. Tidak juga hadir untuk aku sesali. Sebab ia adalah amanah yang Tuhan titipkan kepada diriku.

Jadi bukan jalan itu yang mengantarku menjemput tali pertalian nasib. Antara diriku dan jabang bayi yang bersemayam dalam perutku. Melainkan pintu yang sengaja dibukakan Sang Takdir bagiku. Pintu yang tak seharusnya aku tolak. Pintu yang tak semestinya aku tutup kembali. Di usiaku yang belia ini aku mesti belajar lagi arti tawadhu, aku mesti merendahkan diriku tak lebih dari sebutir debu. Meletakkan keangkuhan dan kesombonganku sebagai zarah di bawah telapak kaki kebenaran.

Peta di mana telah kuterakan jalan yang seharusnya aku tempuh. Jalan kerikil berbatu yang telah aku pilih sendiri. Aku tahu kakiku akan berdarah-darah nanti saat melewatinya. Namun demikianlah, aku tiada dikurangkan namun justru dengan kehadiran bayi itu, ditambahkannya sebuah nikmat karunia yang sungguh tiada terperi.

Tiada lagi yang harus aku ingkari. Tiada satu pun yang mesti aku sia siakan. Aku bahkan tak bisa undur dari jalan yang seharusnya kutempuh. Aku mesti belajar memetik hikmah dari kesalahanku sendiri. Siap atau pun tidak. Aku tak bisa kembali memutari jalan yang sama. Jalan yang seakan gelap tanpa lampu penerang. Namun itulah jalan satu satunya, agar aku bisa memantaskan diriku untuk menjadi seorang ibu. "

Titon Rahmawan

151 " Ada begitu banyak kemalangan, namun dari semua itu kebodohanlah yang tinggal menetap. Orang-orang bodoh melihat, mendengar dan merasakan seperti orang-orang lain, akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman atas diri sendiri dan keadaan di sekelilingnya.

Berusaha memahami si bodoh adalah suatu tindakan yang sia-sia, pada akhirnya tanggapan mereka hanya akan membangkitkan amarah dan kejengkelan.

Kebodohan serupa botol yang memiliki lubang di dasarnya, Seberapa pun banyaknya kebaikan dan pengetahuan yang kita tuang ke dalamnya ia akan berlalu dengan sia-sia.

Mereka yang termasuk ke dalam golongan orang-orang bebal adalah mereka yang menukar sahabatnya dengan uang, dan menggantikan saudaranya dengan kilau emas dan permata.

Hati orang bodoh ada dalam lidahnya dan dengan hal itu ia menggembar-gemborkan kelebihannya yang tak lain adalah sebuah omong-kosong. Sebaliknya, lidah orang bijak ada adalam hatinya dan ia memeliharanya dengan sangat hati-hati agar tidak mengucapkan hal-hal yang tidak perlu.

Dan bahkan, hidup orang bebal jauh lebih buruk dari kematian. Orang-orang bebal dan dungu hanya akan menjadi beban bagi kehidupan, karena seumur hidup mereka tak pernah mau belajar.

Kebodohan adalah batu pejal yang dibuang orang ke dalam sungai karena menghalangi orang yang akan lewat.

Kebodohan punya banyak nama dan mereka menunjukkan wajahnya dalam berbagai wujud. Aku dapat menyebutkan sejumlah di antaranya, yaitu: egoisme dan keras-kepala, bebal dan degil, sikap anarkhi yang membabi buta, sikap acuh-tak acuh dan ketidak-pedulian, pembenaran diri sendiri, tak mau mendengar nasehat, dan kecerobahan yang tak terobati. "

Titon Rahmawan