Home > Author > Titon Rahmawan
121 " Tak ada hal yang paling ganjil dari realitas bahwa aku tidak memiliki diriku sendiri. Aku cuma sebatas apa yang orang lain pikirkan. Ini bukan sekedar kata kata yang terselip di dalam benak setiap orang, ini fakta yang ingin kita kubur dalam dalam. Aku tidak sedang berfilsafah tentang makna hidupku sendiri. Aku sedang mengorek luka yang berkecamuk di dalam benak semua orang. Kita pernah menjadi zombie sekali. Dan kita akan menjadi zombie di kesempatan yang lain. Zombie zombie bangkit dari kubur tidak sebagai orang mati. Tidak juga sebagai yang hidup. Mereka adalah perwujudan dari ketidakberdayaan manusia. Mereka menjelma jadi serigala yang lapar dan ingin menghisap darah dari kehidupan. Mereka tak sanggup hidup dalam arti hidup yang sesungguhnya. Mereka mati dalam kehinaan dan kesia siaan. "
― Titon Rahmawan
122 " Went people die they won't suffer anymore" itu penggalan kalimat yang diucapkan Scott padaku. Entah kapan ia mengucapkan hal itu aku tidak mampu mengingatnya. Aku kira bukan waktunya yang penting, melainkan apa maksud dibalik kalimat yang ia ucapkan. Aku juga lupa, apakah ia mengucapkan kalimat itu dalam diri Jim saat jantungnya terhenti ketika ia tengah berendam di dalam bathtube di apartemennya di Paris? Atau mungkin pula ketika ia masih bercokol dalam tubuh Dwi Retno saat ia mulai mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan sebilah silet. Atau barangkali saja, saat ia tengah bergelut dengan sakratul maut dalam tubuh Ruh. Tentang bagaimana aku mengingatnya masih serupa khayalan atau mimpi yang bercampur aduk dengan rupa rupa realitas. Tapi yang jelas, ada begitu banyak momen di mana aku berasa begitu dekat dengan kematian. Kematian bapak, lalu kematian ibuk dan kemudian kematian Ruh. Kematian itu sendiri mungkin saja telah mengakhiri semua penderitaan mereka di dunia ini, tapi yang jelas bukanlah penderitaanku. Betapa selama ini aku tenggelam dalam sebuah keyakinan, bahwa penderitaan manusia yang terbesar adalah karena kemelekatan mereka pada dunia ini. Dan keberadaan Scott dalam hidupku sungguh sungguh menegaskan segala hal itu. Mulai dari gambaran yang ia lihat dalam momen kematian seorang Indian yang mengalami kecelakaan di sebuah jalan berdebu di gurun Minessota. Lalu bersambung dengan momen saat Dwi Retno mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan silet dan memuncak dalam detik detik ketika maut menjemput Ruh. "
123 " When people die they won't suffer anymore" itu penggalan kalimat yang diucapkan Scott padaku. Entah kapan ia mengucapkan hal itu aku tidak mampu mengingatnya. Aku kira bukan waktunya yang penting, melainkan apa maksud di balik kalimat yang ia ucapkan. Aku juga lupa, apakah ia mengucapkan kalimat itu dalam diri Jim saat jantungnya terhenti ketika ia tengah berendam di dalam bathtube di apartemennya di Paris? Atau mungkin pula ketika ia masih bercokol dalam tubuh Dwi Retno saat ia mulai mengiris pergelangan tangannya sendiri dengan sebilah silet. Atau barangkali saja, saat ia tengah bergelut dengan sakratul maut dalam tubuh Ruh. Tentang bagaimana aku mengingatnya masih serupa khayalan atau mimpi yang bercampur aduk dengan rupa rupa realitas.Tapi yang jelas, ada begitu banyak momen di mana aku berasa begitu dekat dengan kematian. Kematian bapak, lalu kematian ibu dan kemudian kematian Ruh. Kematian itu sendiri mungkin saja telah mengakhiri semua penderitaan mereka di dunia ini, tapi yang jelas bukanlah penderitaanku. Betapa selama ini aku tenggelam dalam sebuah keyakinan, bahwa penderitaan manusia yang terbesar adalah karena kemelekatan mereka pada dunia ini. Dan keberadaan Scott dalam hidupku sungguh sungguh menegaskan segala hal itu. Mulai dari gambaran yang ia lihat dalam momen kematian seorang Indian yang mengalami kecelakaan di sebuah jalan berdebu di gurun Minessota. Lalu bersambung dengan momen saat Dwi Retno mencoba mengakhiri hidupnya sendiri dengan silet dan memuncak dalam detik detik ketika maut menjemput Ruh. "
124 " Aku tidak menghindari apa pun. Aku mencoba, aku mencari dan aku berusaha. Kadang menemukan, kadang tidak. Kadang berhasil, namun lebih sering gagal. Ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab. Tapi aku tidak berhenti. Kalau pun harus berhenti, hanya untuk memastikan bahwa aku akan tetap baik baik saja. Aku menikmatinya. Perjalanan ini, betapa pun berat selalu ada sisi yang menyenangkan. Apa pun yang sudah aku lalui, tak akan membuatku surut. Yang aku tahu pasti, aku merasa bahagia. "
125 " Masih adakah lagu yang ingin kau nyanyikan untukku, seperti desah suara angin yang sejuk dan membuatku terlena. Jemari tangan embun yang basah menari nari di atas rambutmu. Dan celoteh riangnya bergema di sela sela rerumputan jauh hingga ke tengah perkebunan tebu. Sudah lama sekali rasanya kuingat kembali perasaan serupa itu. Seperti melupakan himpitan kemarau berdebu yang terlanjur menenggelamkan kita pada pecah tanah rengkah. Melumatkan perasaan perasaan yang dulu pernah membuat kita berdua mengecap rasa bahagia dalam sebongkah batok kelapa. Ingin mengingat kembali manis perjalanan, bahwa kita tidak pernah sendirian. Bagiku, suaramu masih seperti dulu. Serupa ricik air dingin yang mengalir dari belik di perbukitan. Kicauan burung yang menghampiriku seperti desau angin yang berhembus dari hutan menerabas pokok pohon sengon dan dedaunan jati. Menyentuh seluruh pori pori tubuhku dengan kenangan dan kerinduan menyibak selimut mimpi yang merebak saat subuh dini hari. Seperti hangat mentari yang turun ke bilik pemandian. Bening air sendang memeluk sepenuh tubuhku dengan cinta yang selamanya mengalir. Membawa kesenangan kecil, kegembiraan sederhana. Perasaan yang aku tahu, tak akan pernah pergi meninggalkan diriku. "
126 " I know what is hidden in the minds of men. They only want a respectable woman to be their life partner. But at the same time, he wanted her to be his prostitute whenever he wanted. A prostitute to himself exclusively. Because their egos as men do not allow them to share with others. "
127 " But in its own way, fiction transcends reality. Often it is smarter, more fun and more touching. It is not always flat and boring. It can dive sharply or soar. In many ways, it is also entertaining and enlightening. "
128 " Masih ada kata-katamu yang mengikat pikiranku bukan dengan sebentuk kenangan melainkan sunyi. Udara gerah yang tanggal di ujung lorong, bunyi langkah sepatu, buku-buku berserakan di atas meja. Matahari garang membakar lantai beton di luar sana. Putaran kipas angin yang makin mengeruhkan pikiranku. Gemetar juga gagang pintu ketika engkau tak kunjung menunjukkan kehadiranmu. Siang kian garang, dan jemu tambah letih menunggu bunyi lonceng buat penghabisan kali. Serpih waktu mengabur ketika pengap menghambur ke luar jendela. Betapa sepinya. "
129 " Dalam banyak hal aku merasa, bahwa fiksi seringkali lebih jujur daripada realitas. Fiksi memungkinkan kita membebaskan diri dari penjara kemunafikan, tanpa terbeban oleh penilaian orang lain. "
130 " Kita tidak harus menulis sesuatu dengan harapan tulisan itu bisa diterima kehadirannya. Karena yang terutama adalah, tulisan itu harus jujur, setidaknya bagi diri sendiri. Dan sebagaimana kejujuran tidak selalu menyenangkan dan mendapat tempat, ia selalu membutuhkan waktu untuk membuktikan diri dan menyatakan dirinya. "
131 " Kalau tak berani menetak diri tak hendak diri nyatakan benar "
132 " It is the human ego that hinders us from seeing the true truth. Ego which states that humans are the pinnacle of all knowledge. However, the same knowledge that we glorify is unable to provide us with an answer to the true nature of truth. There is no single theory that can prove that the existence of essential truth is born and comes from human intelligence. "
133 " Apakah kebahagiaan? Di manakah dapat aku temukan kebahagiaan? dan sejauh pencarianku atas makna kebahagiaan itu, aku hanya dapat merumuskannya dalam tiga laku manusia: Ingat, Ikhtiar, Ikhlas. "
― Titon Rahmawan , Turquoise
134 " Tapi kadang dia bisa juga lembut, "Kalau kamu memberi sesuatu yang tidak ternilai. Percayalah, kembalinya kepadamu juga bakal tidak ternilai. Ketika kamu memberi dan kamu tidak memikirkannya. Kamu melakukannya begitu saja sebagai dorongan niat yang tulus. Bukankah itu juga memberimu kebahagiaan? Sesederhana itu. Apa yang kamu beri, bakal kamu terima kembali. Saat kamu terpanggil, kamu memberi prioritas. Kamu tahu, apa artinya itu buat kami, Honey. "
135 " Cinta itu tempat di mana kalian bisa leluasa mencari dan menemukan harkat diri kalian sendiri. Lebih dari siapa pun, Ia selalu ada saat kamu membutuhkan. Ia menopang dan mendukungmu, namun tidak mengintimidasi dan membebanimu. Ia tidak menilai segala sesuatu dari dirinya sendiri. Namun ia selalu mendahulukan kepentinganmu, harapanmu, kebutuhanmu. Ia mengarahkanmu meraih nilai nilai luhur yang kamu perjuangkan. Ia siap berkorban demi memberimu keberhasilan dan kebahagiaan. Dan pada saatnya nanti, kalian bisa berbagi suka dan duka, tangis dan tawa, kesedihan dan keceriaan. Karena ia telah menjadi bagian dari dirimu sendiri. "
136 " Seperti kendi berisi air yang bisa menghilangkan dahaga semua orang yang lewat. Menurutku, tidak ada kebahagiaan serupa itu. Kebahagiaan karena dibutuhkan, kebahagiaan karena dicintai, karena rasa syukur, karena tidak ada yang lebih berharga selain daripada sebuah pemberian yang tulus. Sebuah pemberian yang tidak mungkin ditolak. "
137 " Bukan dunia di luar dirimu yang bisa membuat hidupmu bahagia, melainkan penerimaan dan sikapmu pada dirimu sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan dirimu menanggung penderitaan dan kesusahan. Dan demikian pula, tidak ada orang lain yang bertanggung jawab atas kebahagianmu selain dari dirimu sendiri. Sebab surga atau neraka itu hadir bukan sekedar sebagai sebuah ganjaran, melainkan sebagai konsekuensi dari pilihan hidup kita sendiri. "
138 " Ada banyak orang yang tidak mendapat kebahagiaan setiap kali mereka pulang ke rumah. Itu bukanlah suatu hal yang aneh, karena mereka tidak menjadikan rumah sebagai pusat atau sumber kebahagiaan. (Logika sederhananya) tidaklah mungkin kita mengharap sesuatu dari apa yang tidak kita anggap sebagai sebuah prioritas. "
139 " Kebahagiaanku bukan sesuatu untuk aku pertaruhkan. Kebahagianku adalah sesuatu yang final dan tidak untuk diperdebatkan. Nilai yang akan aku perjuangkan sepenuh hati apa pun itu. "
140 " Kau pancarkan kebahagiaanmu dari mata air yang tersembunyi. Seperti ketika laut pasang di bawah tatapan lembut sang matahari mendatangkan kegembiraan yang tak terlukiskan. Sepasang lima jari yang terkembang ke empat penjuru samudra saat menghantarkan puja kepada yang maha kuasa. Ia yang memberi kita segala kenikmatan. Ia yang kepadanya kita berpulang.Menjamah pusat rindu yang gaib, mencumbui perasaan garib yang sebelumnya tiada dikenal. Waktu yang memetakan segala ingatan purba atas raga kita yang fana, telah tumbuh menjadi kenangan baka atas lebatnya hutan rimba belantara dan sebuah sendang kecil di tengah tengah pulau terpencil yang dikelilingi oleh lembah yang permai dan perbukitan perak yang dulu sekali sering engkau jelajahi. Gunung gunung yang menjulang tinggi di kejauhan seakan menantang untuk ditaklukkan. Langit biru terhampar di atas padang gundul terbentang jauh hingga ke semenanjung yang sebelumnya tak pernah dijamah. Semua yang dulu cuma bagian dari lintasan sejarah, namun kini selamanya telah jadi pengingat akan dirimu. Semua yang dulu pernah mengungkapkan seluruh jejak petilasan dan penaklukanmu. Bentang alam dari seluruh kekayaan yang kini engkau simpan dalam perbendaharaanmu pribadi. Alam liar dari horizon pikiran dan khazanah perasaan yang nyaris tak terselami. Tidak ada lagi rahasia yang engkau tutupi dari mata kami, selain daripada ceruk ceruk terdalam dari palung palung yang tersembunyi di balik mimpi mimpimu. Sungguh, tiada lagi kebahagiaan yang mampu mewakili perasaan kami saat ini, karena engkau telah mengijinkan kami untuk menjadi saksi mata; hasrat dari hasratmu, kerinduan dari kerinduanmu, cinta dari cintamu. Bagaimana kami mampu membalas kebaikan hatimu yang sungguh tiada terkira? Sebab hanya tulus kata dari apa yang tak terucap namun telah puas kami saksikan, akan menggenapi seluruh janji dari semua yang telah engkau beri namun tak akan pernah kami miliki. Akan tetapi, sudah cukuplah itu semua bagi kami, karena engkau telah mengijinkan kami mengagumi keelokan panorama dari apa yang selama ini engkau simpan rapat rapat sebagai harta pusaka yang hanya bisa dinikmati oleh sang raja. "