Home > Author > Titon Rahmawan >

" Jangan ceritakan pada dunia tentang aib yang telah aku buat. Sebagaimana cangkang telur yang pecah dan menguarkan kebusukan yang tak bisa aku tutupi. Tapi semestinya aku bersyukur atas telur yang telah menetas itu.

Bagaimana hendak kusembunyikan sebuah rahasia di balik puisi muram dan berdebu ini? Bagaimana hendak aku tutupi kendi yang sudah terlanjur retak? Aku sama sekali tak berniat melewati pintu berliku dan labirin yang membingungkan. Bukan pula menyembunyikan kebenaran di dalam balutan frasa dan metafora yang pada akhirnya akan tersingkap dengan sendirinya. Melainkan dalam cangkang telur yang getas dan bakal pecah sewaktu waktu. Telur yang rapuh itu menggelinding kesana kemari dan mengacaukan perasaanku.

Diam diam aku berusaha menanam rumpun semak berduri di tempat yang tersembunyi agar orang tak mencuri lihat petaka yang dihasilkannya. Namun ia bukanlah cemar melainkan kebaikan. Jemari kecil yang menyentuh naluri seorang ibu.

Ia bukan lagi sebuah misteri yang mesti disembunyikan dari dunia. Ia tidak hadir sebagai aib, cela atau kenistaan. Ia adalah berkah, ia adalah rasa syukur. Ia adalah curahan rahmat yang menjadikan dirinya utuh sebagai seorang manusia. Ia tidak terlahir untuk aku tangisi. Tidak juga hadir untuk aku sesali. Sebab ia adalah amanah yang Tuhan titipkan kepada diriku.

Jadi bukan jalan itu yang mengantarku menjemput tali pertalian nasib. Antara diriku dan jabang bayi yang bersemayam dalam perutku. Melainkan pintu yang sengaja dibukakan Sang Takdir bagiku. Pintu yang tak seharusnya aku tolak. Pintu yang tak semestinya aku tutup kembali. Di usiaku yang belia ini aku mesti belajar lagi arti tawadhu, aku mesti merendahkan diriku tak lebih dari sebutir debu. Meletakkan keangkuhan dan kesombonganku sebagai zarah di bawah telapak kaki kebenaran.

Peta di mana telah kuterakan jalan yang seharusnya aku tempuh. Jalan kerikil berbatu yang telah aku pilih sendiri. Aku tahu kakiku akan berdarah-darah nanti saat melewatinya. Namun demikianlah, aku tiada dikurangkan namun justru dengan kehadiran bayi itu, ditambahkannya sebuah nikmat karunia yang sungguh tiada terperi.

Tiada lagi yang harus aku ingkari. Tiada satu pun yang mesti aku sia siakan. Aku bahkan tak bisa undur dari jalan yang seharusnya kutempuh. Aku mesti belajar memetik hikmah dari kesalahanku sendiri. Siap atau pun tidak. Aku tak bisa kembali memutari jalan yang sama. Jalan yang seakan gelap tanpa lampu penerang. Namun itulah jalan satu satunya, agar aku bisa memantaskan diriku untuk menjadi seorang ibu. "

Titon Rahmawan


Image for Quotes

Titon Rahmawan quote : Jangan ceritakan pada dunia tentang aib yang telah aku buat. Sebagaimana cangkang telur yang pecah dan menguarkan kebusukan yang tak bisa aku tutupi. Tapi semestinya aku bersyukur atas telur yang telah menetas itu. <br /><br />Bagaimana hendak kusembunyikan sebuah rahasia di balik puisi muram dan berdebu ini? Bagaimana hendak aku tutupi kendi yang sudah terlanjur retak? Aku sama sekali tak berniat melewati pintu berliku dan labirin yang membingungkan. Bukan pula menyembunyikan kebenaran di dalam balutan frasa dan metafora yang pada akhirnya akan tersingkap dengan sendirinya. Melainkan dalam cangkang telur yang getas dan bakal pecah sewaktu waktu. Telur yang rapuh itu menggelinding kesana kemari dan mengacaukan perasaanku. <br /><br />Diam diam aku berusaha menanam rumpun semak berduri di tempat yang tersembunyi agar orang tak mencuri lihat petaka yang dihasilkannya. Namun ia bukanlah cemar melainkan kebaikan. Jemari kecil yang menyentuh naluri seorang ibu. <br /><br />Ia bukan lagi sebuah misteri yang mesti disembunyikan dari dunia. Ia tidak hadir sebagai aib, cela atau kenistaan. Ia adalah berkah, ia adalah rasa syukur. Ia adalah curahan rahmat yang menjadikan dirinya utuh sebagai seorang manusia. Ia tidak terlahir untuk aku tangisi. Tidak juga hadir untuk aku sesali. Sebab ia adalah amanah yang Tuhan titipkan kepada diriku. <br /><br />Jadi bukan jalan itu yang mengantarku menjemput tali pertalian nasib. Antara diriku dan jabang bayi yang bersemayam dalam perutku. Melainkan pintu yang sengaja dibukakan Sang Takdir bagiku. Pintu yang tak seharusnya aku tolak. Pintu yang tak semestinya aku tutup kembali. Di usiaku yang belia ini aku mesti belajar lagi arti tawadhu, aku mesti merendahkan diriku tak lebih dari sebutir debu. Meletakkan keangkuhan dan kesombonganku sebagai zarah di bawah telapak kaki kebenaran. <br /><br />Peta di mana telah kuterakan jalan yang seharusnya aku tempuh. Jalan kerikil berbatu yang telah aku pilih sendiri. Aku tahu kakiku akan berdarah-darah nanti saat melewatinya. Namun demikianlah, aku tiada dikurangkan namun justru dengan kehadiran bayi itu, ditambahkannya sebuah nikmat karunia yang sungguh tiada terperi. <br /><br />Tiada lagi yang harus aku ingkari. Tiada satu pun yang mesti aku sia siakan. Aku bahkan tak bisa undur dari jalan yang seharusnya kutempuh. Aku mesti belajar memetik hikmah dari kesalahanku sendiri. Siap atau pun tidak. Aku tak bisa kembali memutari jalan yang sama. Jalan yang seakan gelap tanpa lampu penerang. Namun itulah jalan satu satunya, agar aku bisa memantaskan diriku untuk menjadi seorang ibu.