Home > Work > Catatan Pinggir 7
1 " Pada masa ini sebuah teori sering terdengar seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan bahwa selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama yang menyebabkan teori itu sah. Sebab itu ada yang menganjurkan: mari kita hidup dengan ironi. Kita tak perlu ngotot dengan satu premis. Selalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri. Kita hanya perlu berpegang prinsip, "Jangan kejam kepada yang lain" . "
― Goenawan Mohamad , Catatan Pinggir 7
2 " Yang penting adalah percakapan dengan kebebasan. Juga kemerdekaan untuk mencari sendiri apa yang benar dan yang adil - dengan sikap ingin tahu, ragu, juga gigih. "
3 " Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: "sebuah Indonesia yang lebih baik" selamanya akan jadi sebuah janji--tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar. "
4 " Bagi saya, berdosa bukanlah inti rasa tragis. Intinya adalah kesadaran tentang 'tepi'. Tepi bukanlah batas. Tepi mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan yang genting sebab siapapun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seorang tak berada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena terang dan gelap ada dimana mana, tapi juga karena kedua duanya mengandung bahaya "
5 " Kekuasaan manusia adalah kekuasaan menghadapi diri sendiri yang tak sepenuhnya dipahaminya sendiri, manusia lain yang tak selamanya dapat dimengerti, masyarakat yang tak pernah selesai terbentuk, semesta hidup yang tak kunjung tertangkap oleh dalil. "
6 " Catatan pinggir adalah suara manusia nomadik, yang tak pernah rela dikerangkeng kategori-kategori, apalagi bila kategorisasi itu totaliter dan tak adil. Suara manusia yang senantiasa berada di tepian, yang karenanya selalu peka dan waspada terhadap segala pihak yang tersisihkan. "
7 " Kegelapan itu tak ada hubungannya dengan misteri, melainkan dengan satu warna dan satu corak di jalan buntu: bahwa manusia seutuhnya adalah makhluk yang satu dimensi: hanya bisa menaklukan dan ditaklukan. "
8 " Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan. Ilham kita bukan Tuhan yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak sendiri, kita tak sendiri. "
9 " Lebih baik agama ibarat garam: meresap, menyebar, dan memberikan manfaat di mana-mana, tanpa kelihatan. "
10 " Demokrasi : ia melahirkan kuasa yang disepakati, dan ada proses bertukar pikiran sebelum kesepakatan. Ada kesabaran sebelum mulut ditutup dengan ikhlas. "
11 " Zakaria (editor News Week) lebih suka menunda demokrasi, ia mendahulukan perbaikan taraf ekonomi, sampai tumbuh kelas menengah yang bebas dari negara, sampai tercapai pendapatan perkapita tertentu. "
12 " Merekalah kelas menengah yang tak disuapi penguasa dan merekalah sendi demokrasi. "
13 " Tentu saja demokrasi, seperti teater, sebenarnya bukanlah proses untuk menemukan kebenaran, melainkan untuk menghadapi kesalahan, dan mengatasinya, terkadang dengan sedih, terkadang dengan tawa. "
14 " Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu buku yang bermutu. Pernah kita mendasarkan informasi kita tentang “bermutu” atau “tidak” kepada satu atau dua orang penilai yang berwibawa. Tapi dewasa ini, bukan penilaian para penilai itu saja yang digugat. Bahkan ide tentang “bermutu” itu sendiri sudah dirobohkan, seakan-akan di sana ada kekuasaan para cendekia yang memaksa. "
15 " Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup—yang sebentar, tapi menggugah, mungkin indah. "
16 " Tapi ia hanya menggantikan Tuhan dengan regulasi. "
17 " Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya. "
18 " Iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. "
19 " Iman bukanlah mempercayai apa yang terang tanpa mempercayai apa yang gelap. Jika iman bersentuhan dengan yang kudus, maka persentuhan itu bukan sebuah jabat tangan, sebab disana ada juga horor – seperti yang dilukiskan Bhagawat Gita, ketika Arjuna menyaksikan Sang Wisnu hadir di dekatnya menjelang perang besar yang mengerikan itu. "
20 " Bahkan di istana Saddam Hussein yang megah pun, ia, seperti tiap penguasa yang mutlak, selalu ada seperti itu: tak ada percakapan yang tulus, yang ada hanya tembok dan ketakutan. "