Home > Author >
1 " Benar bahwa kamu punya hak untuk mencoba menemukan pengganti perempuan itu. Tapi bukan begitu caranya. Ibarat seorang atlet yang cedera, seharusnya disembuhkan dulu luka itu, baru berlatih lagi dan bertanding lagi. Sebab jika ia terluka dan tetap berlatih serta bertanding, kamu akan semakin terluka, bahkan jika kasus itu sepertimu, bisa melukai orang lain. "
― , Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
2 " Hidup ini selebar layar tv, jika kita membukanya, lelahku lelahmu tak cukup untuk mengarunginya. Dan jika kita menutupnya tak butuh satu tarikan nafas untuk selesai... untuk sudah. "
― , Dua Tangisan pada Satu Malam
3 " Ini bukan sekadar kumpulan cerita. Ini sejarah, penggalan sejarah dari negara-bangsa yang__setelah hampir satu abad__ belum saja selesai dengan diri mereka sendiri. Apapun yang dikatakan oleh pejabat resmi pemerintah, kalangan cendekiawan dan kaum terpelajar, juga para politisi dan aktivis sosial, semuanya terlalu sering berbeda dengan apa sebenarnya yang dialami nyata dan dirasakan oleh jelata awam, warga terbanyak di negeri ini. Mereka punya nalar dan pandangan hidup sendiri terhadap setiap kejadian, termasuk yang menjadi bagian langsung maupu tak langsung dari peristiwa-peristiwa besar nasional atau bahkan global. Seperti kumpulan cerpen ini, karya-karya sastra-lah yang terbukti selama ini paling mampu mengungkapkan kembali ‘sejarah orang kebanyakan’ itu dengan penuh nuansa dan kedalaman yang sulit ditemukan dalam karya-kaya ‘ilmiah akademis "
― , Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali: kumpulan cerpen
4 " Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya. "
5 " Mengapa kamu beri aku imbalan yang sangat besar untuk kerjaku yang sangat sederhana ini? Sementara aku tahu orang-orang di sekitarmu kamu peras keringat dan pikirannya, kamu lucuti mental hidupnya. "
6 " Lalu datang masa gigil itu. Dingin yang membekap erat tulang punggungku. Memerasnya, memelintirnya sampai kepada rasa sakit yang tak tertanggungkan. Sampai kepada hening yang paling bening. Sampai kepada gunung hijau tinggi. Sampai kepada langit biru tinggi. Sampai kepada pucuk daun lembut tinggi. Sampai kepada aku yang kecil dan terbang. Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri. "
7 " Aku benci kebebasanku. Aku benci kehebatanku. Aku benci orang yang mengagumiku. Aku benci orang yang menerimaku. Aku benci mengapa aku dibiarkan menempuh perjalanan sunyi ini seorang diri. "
8 " Ibarat pejalan, aku sudah berjalan terlalu jauh. Melewati hidup dengan semangat hijau dan liar. Tikungan-tikungan patah menjadi saksi. Hinggap dari satu pelukan kekasih ke pelukan kekasih yang lain. Nyaris tidak ada kesulitan untuk mengatakan rasa sayang, dan nyaris tidak ada pula kesulitan untuk mengatakan selamat tinggal. Yang kudatangi menangis dan membuka diri, yang kutinggalkan bisa menerima diri. Semua sayang. Semua sayang. Semua sayang. Bahkan ketika ditinggalkan. "
9 " Dalam cerpen-cerpennya ini, Puthut harus bergelut imajinasi kolektif dimana keadilan telah dilumpuhkan. Demi pembangunan, demi kedewasaan berbangsa. Demi Peradapan. Imaji kolektif yang tidak lagi mampu membedakan antara yang bohong dan benar, dimana keadilan dibiarkan bergandengan dengan kembar-palsunya, ketidakadilan, mengambang dalam ambiguitas berbahaya. Kalaupun publik masih mampu membedakan, perbedaan itu harus cepat-cepat dipendam di alam bawah sadar. Bingkai “aku” Puthut di samping memberi suara kepada kemurnian pertanyaan belia__yang terlalu sering dianggap gangguan__ menambahkan sesuatu yang barangkali belum tampil dalam penuturan Paramoedya pada awal berdirinya nasion Indonesia, yaitu pergantian generasi dan efek pengaburan konseptual yang telah berlangsung lebih dari 40 tahun. "