Home > Author > Titon Rahmawan >

" Ia adalah seorang pemburu yang tidak ingin bersembunyi di balik kecurigaan orang lain. Akan tetapi, ia tak ingin dihakimi oleh apa yang orang tidak pahami tentang dirinya. Ketika nilai dan moral bertumpang tindih dengan akal sehat dan naluri kejantanan seorang laki laki.

Bagaimana ia bisa menghindar dari rayuan Calypso? Godaan hasrat adalah sulur sulur pikiran yang merambat di dinding yang retak. Dari lobang di tembok itulah ia terlahir sebagai telur. Embrio pusat pembuktian ontologis manusia. Kerasnya kehidupan yang kemudian memaksa dirinya harus berjuang. Bersusah payah tumbuh dalam sebuah kontradiksi. Berusaha eksis sebagai pemangsa. Predator yang merangkak di tanah mengincar sasaran. Melihat dirinya sendiri sebagai seekor Scylla yang siap menerkam.

Ia adalah seorang pemburu dengan tatapan mematikan dan siap menguji keberanian. Mengintai mangsa, mengarahkan senapan berlaras dua simbol dari identitas dan idealitas yang bisa meledak sewaktu waktu. Namun kebimbangan memaksa ia berlari di antara pohon pohon yang menyembunyikan bayang bayangnya dari kejaran rasa jeri dan kecemasannya sendiri.

Hantu moralitas dan norma yang masih ingin ia perdebatkan keberadaannya. Karena baginya, manusia bisa bertindak lebih keji dari seekor ular. Makhluk menjijikkan dengan mulut yang mampu menelan apa saja dan lidah tak bertulang yang sanggup menyemburkan racun berbisa mematikan.

Baginya, hasrat adalah benih yang mesti ditanam agar ia tumbuh. Akan tetapi ia adalah biji buah diospyros. Buah para dewa yang memabukkan dan tak bisa  disingkirkan dari perdu yang telanjur menyemak dalam benaknya. Ada masa di mana hidup harus merasai kesenangan dan kedamaian lebih dari permainan hidup dan mati. Lebih dari sekedar petualangan demi menemukan makna kebenaran sejati. Kemenangan sudah menjadi obsesi yang menguasai pikiran semua orang, sebagaimana dulu sebuah kuda kayu raksasa menaklukkan kota Troya.

Begitulah, ia adalah titisan Odisseus yang malang, yang dikutuk karena tak mengindahkan keberadaan para dewa. Bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai seekor kuda liar yang tak ingin dikendalikan oleh siapa pun. Tetapi nafsu adalah juga ibarat ular berbisa yang bisa mematuk ekornya sendiri. Dan ia tahu, senapan bukan cuma senjata yang bisa mematikan seekor buruan. Di tangan seorang pemburu ia bisa membunuh monster bermata satu. 

Hutan itu adalah tempat perlindungan para peri. Hasrat purba yang tak terjamah oleh topeng kemunafikan. Ia rumit seperti labirin dan ia tak mewakili keindahan taman taman surgawi. Ia keramat. Sanctuary yang memiliki pesonanya sendiri yang tak terjabarkan dalam ungkapan yang sederhana. Sebuah godaan kecil, nyanyian Sirens yang mematikan. Ia tak ingin tersesat di dalam rimba yang gelap gulita itu.

Tapi ada rasa lapar dan haus yang tak mampu ia tolak. Rasa pahit yang pekat berasa mencekik lehernya. Seperti ramuan Circe yang mengubah orang menjadi babi. Ia telah meninggalkan rumahnya di Itacha demi menaklukkan hasrat di dalam dirinya sendiri. Dan demi kerinduan abadi atas kesadaran diri sebagai manusia leta, ia rela dikutuk. Pergi jauh mengembara dan siap mati demi nilai yang ia perjuangkan. "

Titon Rahmawan


Image for Quotes

Titon Rahmawan quote : Ia adalah seorang pemburu yang tidak ingin bersembunyi di balik kecurigaan orang lain. Akan tetapi, ia tak ingin dihakimi oleh apa yang orang tidak pahami tentang dirinya. Ketika nilai dan moral bertumpang tindih dengan akal sehat dan naluri kejantanan seorang laki laki. <br /><br />Bagaimana ia bisa menghindar dari rayuan Calypso? Godaan hasrat adalah sulur sulur pikiran yang merambat di dinding yang retak. Dari lobang di tembok itulah ia terlahir sebagai telur. Embrio pusat pembuktian ontologis manusia. Kerasnya kehidupan yang kemudian memaksa dirinya harus berjuang. Bersusah payah tumbuh dalam sebuah kontradiksi. Berusaha eksis sebagai pemangsa. Predator yang merangkak di tanah mengincar sasaran. Melihat dirinya sendiri sebagai seekor Scylla yang siap menerkam. <br /><br />Ia adalah seorang pemburu dengan tatapan mematikan dan siap menguji keberanian. Mengintai mangsa, mengarahkan senapan berlaras dua simbol dari identitas dan idealitas yang bisa meledak sewaktu waktu. Namun kebimbangan memaksa ia berlari di antara pohon pohon yang menyembunyikan bayang bayangnya dari kejaran rasa jeri dan kecemasannya sendiri. <br /><br />Hantu moralitas dan norma yang masih ingin ia perdebatkan keberadaannya. Karena baginya, manusia bisa bertindak lebih keji dari seekor ular. Makhluk menjijikkan dengan mulut yang mampu menelan apa saja dan lidah tak bertulang yang sanggup menyemburkan racun berbisa mematikan. <br /><br />Baginya, hasrat adalah benih yang mesti ditanam agar ia tumbuh. Akan tetapi ia adalah biji buah diospyros. Buah para dewa yang memabukkan dan tak bisa  disingkirkan dari perdu yang telanjur menyemak dalam benaknya. Ada masa di mana hidup harus merasai kesenangan dan kedamaian lebih dari permainan hidup dan mati. Lebih dari sekedar petualangan demi menemukan makna kebenaran sejati. Kemenangan sudah menjadi obsesi yang menguasai pikiran semua orang, sebagaimana dulu sebuah kuda kayu raksasa menaklukkan kota Troya. <br /><br />Begitulah, ia adalah titisan Odisseus yang malang, yang dikutuk karena tak mengindahkan keberadaan para dewa. Bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai seekor kuda liar yang tak ingin dikendalikan oleh siapa pun. Tetapi nafsu adalah juga ibarat ular berbisa yang bisa mematuk ekornya sendiri. Dan ia tahu, senapan bukan cuma senjata yang bisa mematikan seekor buruan. Di tangan seorang pemburu ia bisa membunuh monster bermata satu.  <br /><br />Hutan itu adalah tempat perlindungan para peri. Hasrat purba yang tak terjamah oleh topeng kemunafikan. Ia rumit seperti labirin dan ia tak mewakili keindahan taman taman surgawi. Ia keramat. Sanctuary yang memiliki pesonanya sendiri yang tak terjabarkan dalam ungkapan yang sederhana. Sebuah godaan kecil, nyanyian Sirens yang mematikan. Ia tak ingin tersesat di dalam rimba yang gelap gulita itu. <br /><br />Tapi ada rasa lapar dan haus yang tak mampu ia tolak. Rasa pahit yang pekat berasa mencekik lehernya. Seperti ramuan Circe yang mengubah orang menjadi babi. Ia telah meninggalkan rumahnya di Itacha demi menaklukkan hasrat di dalam dirinya sendiri. Dan demi kerinduan abadi atas kesadaran diri sebagai manusia leta, ia rela dikutuk. Pergi jauh mengembara dan siap mati demi nilai yang ia perjuangkan.