Home > Author > Titon Rahmawan >

" Ibu tak pernah menangis seperti itu. Sepanjang yang aku ingat. Tangisnya serupa guci keramik di rumah Yangkung yang tak sengaja aku pecahkan. Jatuh dan lalu hancur berkeping keping. Ia tak pernah kembali utuh seperti semula.

Kita tak bisa hidup dengan kenangan kenangan buruk seperti itu. Sejak kapan perasaan ibu lebih penting dari perasaanku sendiri? Tapi aku tahu, aku semestinya menggugat mengapa pikiran serupa itu berkelebat di dalam benakku?

Ibu bukanlah simbol yang harus diterjemahkan dengan kata kata. Ia adalah representasi dari hidup dan sekaligus kehidupan. Semestinya ia adalah perwujudan dari hidup itu sendiri. Betapa pun, aku tak bisa memikirkan makna kehidupan tanpa mengindahkan kehadiran ibu dalam hidupku.

Tapi mengapa ibu tak selalu mewakili apa yang aku pikirkan? Ia tak selalu cantik, lembut dan penuh kasih sayang. Matanya terlihat sayu, sembab dan menanggung terlalu banyak kepedihan. Terlalu banyak mutiara yang tertumpah dari matanya. Seperti doa doa yang tak putus ia panjatkan. Apakah hanya dengan kesedihan kita bisa memaknai arti kebahagiaan yang sesungguhnya? Apakah orang mesti jatuh agar ia bisa tegak berdiri?

Dan ibu mungkin teladan yang tak selalu bisa kita mengerti. Sebab dia membesarkan kita anak anaknya, lebih banyak justru dengan penderitaan penderitaannya sendiri. "

Titon Rahmawan


Image for Quotes

Titon Rahmawan quote : Ibu tak pernah menangis seperti itu. Sepanjang yang aku ingat. Tangisnya serupa guci keramik di rumah Yangkung yang tak sengaja aku pecahkan. Jatuh dan lalu hancur berkeping keping. Ia tak pernah kembali utuh seperti semula. <br /><br />Kita tak bisa hidup dengan kenangan kenangan buruk seperti itu. Sejak kapan perasaan ibu lebih penting dari perasaanku sendiri? Tapi aku tahu, aku semestinya menggugat mengapa pikiran serupa itu berkelebat di dalam benakku?<br /><br />Ibu bukanlah simbol yang harus diterjemahkan dengan kata kata. Ia adalah representasi dari hidup dan sekaligus kehidupan. Semestinya ia adalah perwujudan dari hidup itu sendiri. Betapa pun, aku tak bisa memikirkan makna kehidupan tanpa mengindahkan kehadiran ibu dalam hidupku. <br /><br />Tapi mengapa ibu tak selalu mewakili apa yang aku pikirkan? Ia tak selalu cantik, lembut dan penuh kasih sayang. Matanya terlihat sayu, sembab dan menanggung terlalu banyak kepedihan. Terlalu banyak mutiara yang tertumpah dari matanya. Seperti doa doa yang tak putus ia panjatkan. Apakah hanya dengan kesedihan kita bisa memaknai arti kebahagiaan yang sesungguhnya? Apakah orang mesti jatuh agar ia bisa tegak berdiri? <br /><br />Dan ibu mungkin teladan yang tak selalu bisa kita mengerti. Sebab dia membesarkan kita anak anaknya, lebih banyak justru dengan penderitaan penderitaannya sendiri.